Selamat Datang di Blog AHIDA ... . Suatu kehormatan bagi saya atas kunjungan anda di blog ini. Semoga bermanfaat. Amiin... .

Senin, 09 Mei 2011

ARTI PENTING PERKEMBANGAN SOSIAL DAN MORAL BAGI PROSES BELAJAR AGAMA


I.   PENDAHULUAN
Proses belajar dapat diartikan sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif dan psikomotor yang terjadi dalam diri siswa.[1] Selama belajar di tiga bidang tersebut, anak bergaul dengan lingkungan yang berada disekitarnya secara aktif. Mereka memperoleh pengetahuan, pemahaman, sikap maupun nilai dari sumber-sumber yang berbeda, bacaan dan pendengaran yang bermacam-macam, serta mengamati berbagai macam peristiwa yang terjadi disekelilingnya.
Namun proses belajar agama yang dilalui oleh siswa seringkali tidak mencapai hasil belajar yang berkualitas. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain kurangnya pengetahuan dan pemahaman pendidik (guru) dalam memahami perkembangan sosial dan moral siswa. Sehingga siswa dalam kesadaran agamanya sangat minim dan siswa tidak mampu menerapkan hasil belajar agama dalam pengalaman agamanya.
II.  ARTI PENTING PERKEMBANGAN SOSIAL DAN MORAL BAGI PROSES BELAJAR AGAMA
Perkembangan adalah serentetan perubahan untuk menjadi besar, luas,  banyak, bertambah sempurna dalam hal watak demikian pula dalam pengetahuannya.[2] Dalam prosesnya, perkembangan berlangsung secara progesif, teratur, jalin menjalin dan terarah kepada kedewasaan, kematangan.[3]  Progresif berarti bahwa perkembangan itu berjalan kedepan dan bukan kebelakang. Adapun teratur dan jalin menjalin memiliki pengertian bahwa perkembangan berproses secara berurutan dan bertahap. Setiap tahapan yang dilalui saling berkaitan antara tahap yang satu dengan tahap berikutnya, dan semua itu berlangsung melalui pematangan dan belajar.
Untuk memudahkan penelaahan terhadap perkembangan individu (merupakan bagian dari kajian psikologi perkembangan[4]), dilakukan dengan membagi individu dalam pembagian yang sesederhana mungkin. (1) Aspek fisik: keadaaan psikologisnya, tampang dan kesehatannya. (2) Aspek intelek: kecerdasannya, kemampuannya, bakat umum dan khususnya, minatnya. (3) Aspek emosional: jenis-jenis perasaan yang dinyatakan dalam cinta, kasih, benci, riang, marah takut dan geram. (4) Aspek sosial: masalah hubungan antara individu yang satu dengan yang lain. Meliputi hubungan individu dengan individu, individu dengan sekolah, individu dengan masyarakat. (5) Aspek moral: keyakinan, agama, nilai-nilai dan norma-norma. (6) Aspek kepribadian: bagaimana integrasi psikofisik yang menentukan penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya secara unik.
Dalam aspek sosial, dikenal adanya istilah perkembangan sosial, yaitu sebuah proses sosialisasi (penyesuaian diri terhadap lingkungan kehidupan sosial) dalam berintegrasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Proses ini sangat bergantung pada faktor intelektual dan emosional. Adapun dari aspek moral dikenal istilah perkembangan moral yaitu sebuah proses untuk memperoleh kemampuan membedakan antara perbuatan yang benar dengan yang salah (kendali dalam bertingkah laku) berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam kehidupannya.[5]
Perkembangan sosial dengan perkembangan moral merupakan dua hal yang saling berkaitan. Muhibbin Syah (2010; 75) memberikan pandangannya tentang keterkaitan tersebut bahwa perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Misalnya, seorang siswa hanya akan mampu berperilaku sosial tertentu secara memadai apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk situasi sosial tersebut.
Robert  Kegan sebagaimana dikutip oleh H. A. R. Tilaar membagi perkembangan moral dalam 5 (lima) tingkatan:[6] (1)Tingkat perkembangan nol. Pada tingkatan ini, kehidupan anak berdasarkan pada refleks, panca indera dan gerak. Peranan ibu sangat penting dalam tingkat perkembangan ini dikarenakan kehidupan anak sepenuhnya bergantung pada pemeliharaan dan kasih sayang ibunya. (2) Tingkat perkembangan satu. Pada tingkatan ini kehidupan anak bergantung pada dorongan dan persepsi. Kehidupan anak dalam tingkatan ini terbatas pada segitiga keluarga yaitu bapak-ibu-anak. (3) Tingkat perkembangan dua. Kehidupan anak pada tingkatan ini masih dibatasi oleh berbagai jenis disposisi, kebutuhan dan minat serta keinginan-keinginan tertentu. Peranan budaya pada tingkatan ini memberikan batasan tertentu dimana lembaga sekolah maupun keluarga merupakan lembaga yang memberi diferensiasi peranan, misalnya didalam kelompok bermain yang memerlukan peranan-peranan tertentu. (4) Tingkat perkembangan tiga. Kehidupan anak pada tingkatan ini  mulai diatur dalam hubungan kebersamaan (mutuality) dan keserasian hubungan interpersonal. Kehidupan yang memiliki budaya kebersamaan memegang peranan penting. Membangun suatu hubungan antar manusia dengan berdasar kehidupan bersama yang saling menguntungkan. (5) Tingkat perkembangan empat. Pada tingkatan ini, otonomi personal dan iidentitas pribadi dalam kehidupan anak  telah tercapai.
Adanya tingkatan perkembangan di atas, sangat berpengaruh terhadap jalannya proses belajar agama. Setiap tingkatan memiliki kriteria tersendiri dalam pelaksanaan proses belajar agama diantaranya apa yang dapat dipelajari dalam agama dan dengan cara bagaimana agama harus dipelajari.
Proses belajar yang harus dilalui siswa untuk pengembangan watak dan pengetahuan siswa agar menjadi sempurna, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Muhibbin Syah membaginya dalam tiga macam yang saling berkaitan, yaitu: (1) Faktor internal (keadaan/kondisi jasmani dan rohani siswa), (2) faktor eksternal (kondisi lingkungan disekitar siswa) (3) Faktor pendekatan belajar (strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran).[7]
Faktor-faktor di atas berkaitan dengan perkembangan sosial dan moral siswa yang mempengaruhi proses belajar agama siswa (bersifat eksternal), misalnya sikap siswa terhadap guru agama. Seorang siswa akan menyukai dan mencintai pelajaran agama ketika siswa mempunyai sifat positif terhadap guru agama dan materi pelajaran yang disajikan guru tersebut. Kecintaan siswa terhadap pelajaran agama ini, merupakan awal dari proses belajar siswa yang sangat baik. Kondisi ini akan tercapai ketika seorang guru menunjukkan sikap yang positif terhadap dirinya sendiri dan mata pelajaran yang disajikannya. Contoh lain ialah dari segi materi pembelajaran, seorang guru diharuskan mempunyai kemampuan mengetahui kemampuan siswa dalam menerima materi belajar yang diberikan olehnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi terjadinya kesalahan dalam memberikan materi pembelajaran yang tidak sesuai dengan perkembangan sosial dan moralnya. Misalnya, pada murid Sekolah Dasar belum perlu diberikan materi tentang hadats besar apabila mereka belum mengalami menstruasi (siswi), sehingga dalam menerangkan batalnya puasa, guru agama tidak perlu menjelaskan tentang hadats besar kepada mereka.
Proses belajar agama sendiri memiliki arti penting bagi siswa yaitu: Kesadaran beragama (religious consciousness). Siswa diajarkan  untuk dapat menghadirkan agama dalam pikirannya dan dapat diuji melalui introspeksi. Ia merupakan aspek mental dari aktivitas agama. Adapun melalui pengalaman agama (religious experience) yang merupakan unsur perasaan dalam kesadaran agama, akan membawa siswa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliah). Misalnya perasaan lega dan tentram setelah selesai melakukan kewajiban shalat, rasa terlepas dari ketegangan batin sesudah berdoa atau setelah membaca Al-Qur’an, perasaan tenang, menerima, pasrah setelah berzikir kepada Allah dalam menghadapi masalah yang rumit, penuh kesedihan, kekecewaan dan sebagainya.
Keterkaitan antara perkembangan sosial dan moral siswa dengan proses belajar agama memberikan konsekuensi yang logis dalam hal kualitas beragama. Ketika guru agama mampu menanamkan pemahaman agama terhadap siswanya dengan menumbuhkan kecintaan dalam diri siswa  terhadap pelajaran agama yang disajikan olehnya, akan membantu siswa memiliki pemahaman kesadaran beragama dan menerapkan ajaran agama yang diajarkan dalam segala aspek kehidupannya, sehingga siswa memiliki kemampuan dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral agama, moral tradisi, moral hukum dan norma moral lainnya yang berlaku dalam masyarakat siswa yang bersangkutan.[8]
Hadits Rasulullah SAW:
عن الأسواد بن سريع قال رسول الله صلي الله عليه وسلم: كل مولودعلى الفطرة فأبوه يهودانه أوينصرانه أويمجسانه (رواه أبو يعلي والطبراني والبيها قى)
Artinya: Dari Al-Aswady ibn Sari’ berkata, Rasulullah SAW Bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orangtuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani, dan majusi (HR. Abu Ya’la, Ath-Thabrani dan Baihaqi)
Peran orangtua sangat penting dalam memberikan pendidikan agama pada anaknya dan membimbing  anaknya kepada kebaikan dengan berpedoman pada ajaran agama, dalam hal ini lingkungan menjadi faktor utama pembentukan agama pada diri anak. Guru agama sebagai orang yang ditunjuk oleh orangtua (salah satu upaya melaksanakan kewajibannya memberikan pendidikan agama pada anak), memiliki kewajiban untuk mengajari anak belajar agama dengan metode yang tepat di lingkungan sekolah sesuai dengan tingkat perkembangan sosial dan moral anak. 
III.   SIMPULAN
Proses belajar agama siswa sangat bergantung pada perkembangan sosial dan moral. Dengan adanya pengetahuan dan pemahaman terhadap tahapan perkembangan tertentu, akan membantu guru terhadap proses belajar agama siswa, apa yang dapat dipelajari dari agama dan dengan cara bagaimana agama harus dipelajari.
REFERENSI
H. A. R. Tilaar, 2002, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Jakarta, Grasindo
Muhibbin Syah, 2010, Psikologi Belajar, Jakarta, Rajagrafindo Persada
____________,  2010, Psikologi Pendidikan, Bandung, Remaja Rosda Karya
Paimun, Noor Suparyanti, Etty Kartikawati, 1998, Psikologi Perkembangan, Jakarta, Dirjend Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Sunarto-B. Agung Hartono, 2002, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Rineka Cipta
Tim Reality, 2008, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, Surabaya, Reality Publisher


  
[1] Muhibbin Syah, 2010, Psikologi Belajar, Jakarta, Rajagrafindo Persada, hal: 109.
[2] Tim Reality, 2008, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, Surabaya, Reality Publisher, hal: 356.
[3] Paimun, Noor Suparyanti, Etty Kartikawati, 1998, Psikologi Perkembangan, Dirjend Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, hal:11.
[4] Psikologi perkembangan merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari kegiatan atau tingkah laku individu atau manusia dalam perkembangannya beserta latar belakang endogen dan eksogen.
[5]Sunarto-B. Agung Hartono, 2002, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Rineka Cipta, hal:126-171.

[6] H. A. R. Tilaar, 2002, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Jakarta, Grasindo, hal:436.
[7] Muhibbin Syah, 2010, Psikologi Belajar, Jakarta, Rajagrafindo Persada, hal: 145.

[8] Muhibbin Syah, 2010, Psikologi Pendidikan, Bandung, Remaja Rosda Karya, hal: 74.

1 komentar:

  1. bukan hanya kurangnya pengatahuan, pada dasarnya guru tidak memiliki tanggung jawab / tdk ada tekad untuk mendidik, yang di awali dari proses di dinas dan depag "ngan numpang nyatu hungkul"

    BalasHapus